KONSUMSI MENURUT ISLAM
Islam adalah agama yang ajarannya mengatur segenap prilaku
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah
konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan
konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemashlahatan hidupnya. Seluruh aturan
Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Prilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan
membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.
Dasar Hukum Prilaku Konsumen
Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan
amanah Allah SWT kepada sang Khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi
kesejahteraan bersama. Dalam satu pemanfaatan yang telah diberikan kepada sang
Khalifah adalah kegiatan ekonomi (umum) dan lebih sempit lagi kegiatan konsumsi
(khusus). Islam mengajarkan kepada sang khalifah untuk memakai dasar yang benar
agar mendapatkan keridhaan dari Allah Sang Pencipta.
a. Sumber yang Berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul
1. Sumber yang ada dalam al-Qur’an
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya : Makan dan minumlah, namun janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.
2. Sumber yang berasal dari Sunnah Rasul , yang artinya : Abu Said Al-Chodry r.a berkata :
Ketika kami dalam bepergian berasama Nabi SAW, mendadak
datang seseorang berkendaraan, sambil menoleh ke kanan-ke kiri seolah-olah
mengharapkan bantuan makanan, maka bersabda Nabi SAW : “Siapa yang mempunyai
kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak memmpunyai kendaraan. Dan
siapa yang mempunyai kelebihan bekal harus dibantukan pada orang yang tidak
berbekal.” kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga
kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan
hajatnya. (H.R. Muslim).
b. Ijtihad Para Ahli Fiqh
Ijitihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan
sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syari’at. Mannan menyatakan bahwa
sumber hukum ekonomi islam (termasuk di dalamnya terdapat dasar hukum tentang
prilaku konsumen) yaitu; al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, serta qiyas dan ijtihad.
Menurut Mannan, yang ditulis oleh Muhammad dalam bukunya
”Ekonomi Mikro Islam” (2005: 165); konsumsi adalah permintaan sedangkan
produksi adalah penyediaan/penawaran. Kebutuhan konsumen, yang kini dan yang
telah diperhitungkan sebelumya, menrupakan insentif pokok bagi
kegiatan-kegiatan ekonominya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap
pendapatannya, tetapi juga memberi insentif untuk meningkatkannya.
Hal ini berarti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi adalah
penting. dan hanya para ahli ekonomi yang mempertunjukkan kemampuannya untuk
memahami dan menjelaskan prinsip produksi maupun konsumsi, mereka dapat dianggap
kompeten untuk mengembangkan hukum-hukum nilai dan distribusi atau hampir
setiap cabang lain dari subyek tersebut.
Menurut Muhammad perbedaan antara ilmu ekonomi modren dan
ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi
kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata
dari pola konsumsi modren.
Lebih lanjut Mannan mengatakan semakin tinggi kita menaiki
jenjang peradaban, semakin kita terkalahkan oleh kebutuhan fisiologik karena
faktor-faktor psikologis. Cita rasa seni, keangkuhan, dorongan-dorongan untuk
pamer semua faktor ini memainkan peran yang semakin dominan dalam menentukan
bentuk lahiriah konkret dari kebutuhan-kebutuhan fisiologik kita. Dalam suatu
masyarakat primitif, konsomsi sangat sederhana, karena kebutuhannya sangat
sederhana. Tetapi peradaban modren telah menghancurkan kesederhanaan manis akan
kebutuhan-kabutuhan ini.
Prinsip Konsumsi Dalam Islam
Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah adalah milik semua
manusia. Suasana yang menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu
berada ditangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat
memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri. Orang lain masih
berhak atas anugerah-anugerah tersebut walaupun mereka tidak memperolehnya.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen yang dikemukakan
oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau
miliknya ini.
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi
barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam.
Sebab kenikmatan yang dicipta Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya
yang berfirman kepada nenek moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana
tercantum dalam Al-Qur’an
يَاأَيُّهاَ
النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي
اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُبِينٌ
Artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi
baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Etika ilmu ekonomi Islam berusaha untuk mngurangi kebutuhan
material yang luar biasa sekarang ini, untuk mngurangi energi manusia dalam
mengejar cita-cita spiritualnya. Perkembangan bathiniah yang bukan perluasan
lahiriah, telah dijadikan cita-cita tertinggi manusia dalam hidup. Tetapi
semangat modren dunia barat, sekalipun tidak merendahkan nilai kebutuhan akan
kesempurnaan batin, namun rupanya telah mengalihkan tekanan kearah perbaikan
kondisi-kondisi kehidupan material. Dalam ekonomi Islam konsumsi dikendalikan
oleh lima prinsip dasar .
1. Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai
mencari rezeki secara halal dan tidak dilarang hukum. Dalam soal makanan dan
minuman, yang terlarang adalah darh, daging binatang yang telah mati sendiri,
daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain
Allah, (Q.S 2. 173),
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ
عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ
إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
2. Prinsip Kebersihan
Syariat yang kedua ini tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an
maupun Sunnah tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor
ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang
diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Dari semua yang
diperbolehkan makan dan minumlah yang bersih dan bermanfaat.
3. Prinsip Kesederhanaan
Prinsip ini mengatur prilaku manusia mengenai makanan dan
minuman adalah sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan
secara berlebih.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ
مَآأَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ
تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ
يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah
kamu melampaui batas .................”
Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan
dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi
secara berlebih-lebihan tentu akan ada pengaruhnya pada perut. Praktik
memantangkan jenis makanan tertentu dengan tegas tidak dibolehkan dalam Islam.
4. Prinsip Kemurahan Hati
Dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa
ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena
kemurahan hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan
kesehatan yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Tuhan dengan
keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya, dan perbuatan adil sesuai dengan itu, yang
menjamin persesuaian bagi semua perintah-Nya.
أُحِلَّ
لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحَرَّمَ
عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَادُمْتُمْ
حُرُمًا وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي إِلَيْهِ
تُحْشَرُونَ
Artinya : Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan
(yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang
dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat,
selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya-lah kamu
akan dikumpulkan.
5. Prinsip Moralitas.
Bukan hanya mengenai makanan dan minuman langsung tetapi
dengan tujuan terakhirnya, yakni untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai
moral dan spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah
sebelum makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan. Dengan
demikian ia akan merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi
keinginan-keinginan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki
perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia.
يَسْئَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَآإِثْمُُ كَبِيرُُ
وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
Artinya : Mereka bertanya kepadamu (Nabi) tentang khamar dan
judi. Katakanlah, ”pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya .........
Teori Konsumsi Dalam Ekonomi Islam
Barang-barang kebutuhan dasar (termasuk untuk keperluan
hidup dan kenyamanan) dapat didefenisikan sebagai barang dan jasa yang mampu
memenuhi suatu kebutuhan atau mengurangi kesulitan hidup sehingga memberikan
perbedaan yang riil dalam kehidupan konsumen. Barang-barang mewah sendiri dapat
didefenisikan sebagai semua barang dan jasa yang diinginkan baik untuk
kebanggaan diri maupun untuk sesuatu yang sebenarnya tidak memberikan perubahan
berarti bagi kehidupan konsumen .
Lebih lanjut Chapra (2002 : 309) mengatakan bahwa konsumsi
agregat yang sama mungkin memiliki proporsi barang kebutuhan dasar dan barang
mewah yang berbeda (C = Cn + C1), dan tercapai tidaknya pemenuhan suatu
kebutuhan tidak tergantung kepada proporsi sumber daya yang dialokasikan kepada
masing-masing konsumsi ini. Semakin banyak sumber daya masyarakat yang digunakan
untuk konsumsi dan produksi barang dan jasa mewah (C1), semakin sedikit sumber
daya yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan dasar (Cn). Dengan demikian, meski
terjadi penigkatan pada konsumsi agregat, ada kemungkinan bahwa kehidupan
masyarakat tidak menjadi lebih baik dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan
dasar penduduk miskin (Cn), jika semua peningkatan yang terjadi pada konsumsi
tersebut lari ke penduduk kaya untuk pemenuhan kebutuhan barang-barang mewah
(C1).
Fungsi konsumsi di dalam ilmu makroekonomi konvensional
tidak memperhitungkan komponen-komponen konsumsi agregat ini (Cn dan C1). Yang
lebih banyak dibicarakan dalam ilmu makroekonomi konvensional terutama mengenai
pengaruh dari tingkat harga dan pendapatan terhadap konsumsi. Hal ini dapat
memperburuk analisis, karena saat tingkat harga dan pendapatan benar-benar
memainkan peran yang substansi dalam menentukan konsumsi agregat (C), ada
sejumlah faktor moral, sosial, politik, ekonomi, dan sejarah yang mempengaruhi
pengalokasiaannya pada masing-masing komponen konsumsi (Cn dan C1). Dengan
demikian, faktor-faktor nilai dan kelembagaan serta preferensi, distribusi
pendapatan dan kekayaan, perkembangan sejarah, serta kebijakan-kebijakan
pemerintah tentunya tak dapat diabaikan dalam analisis ekonomi.
Norma konsumsi Islami mungkin dapat membantu memberikan
orientasi preferensi individual yang menentang konsumsi barang-barang mewah
(C1) dan bersama dengan jaring pengaman sosial, zakat, serta
pengeluaran-pengeluaran untuk amal mempengaruhi alokasi dari sumber daya yang
dapat meningkatkan tingkat konsumsi pada komponen barang kebutuhan dasar (Cn).
Produsen kemudian mungkin akan merespon permintaan ini sehingga volume
investasi yang lebih besar dialihkan kepada produksi barang-barang yang terkait
dengan kebutuhan dasar (Cn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar